Imam Besar Mazhab Islam Transitif, Prof. Dr. H. Ansari Yamamah… Bahas Buku “Insan Kamil” dalam MPTTI

Medan | Kajian Tasawuf bisa diibaratkan sebagai mobil yang terdiri dari rangka dan mesin yang saling melengkapi. Kedua komponen ini memiliki keterhubungan dan saling menguatkan. Dengan demikian, mobil yang dirakit akan dapat berjalan dengan dukungan mesin sebagai penggeraknya.

Hal yang sama berlaku untuk hubungan antara syariat dan hakikat dalam pemahaman Islam secara keseluruhan.

“Kajian tentang tasawuf atau sufisme adalah suatu ilmu yang memiliki pandangan tertentu untuk membersihkan batin, sehingga tubuh dapat melakukan perbuatan baik dan menghindari yang buruk dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah,” kata Prof. Dr. H. Ansari Yamamah, MA, dalam diskusi mengenai buku “Insan Kamil” karya Ulama Sufi Abdul Karim Al-Jilli, pada Minggu (25/6/2023) di Pondok Konstitusi AYG Gaperta Ujung Medan.

Lebih lanjut, Prof. Ansari menjelaskan bahwa karakteristik kaum sufi atau penggiat tasawuf ini ditandai dengan sifat-sifat kemuliaan, seperti kasih sayang yang tercermin dalam sikap akhlakul karimah mereka yang tercermin dalam pola kehidupan sosial mereka.

“Implementasi sikap tasawuf yang baik akan terlihat dalam aktivitas sosial, bagaimana kesadaran sosial kolektif terbentuk di tengah masyarakat, lebih peduli dan memiliki empati terhadap orang lain tanpa diminta, inilah cerminan sikap seorang sufi yang rendah hati dan peduli terhadap kehidupan sehari-hari. Kehidupan sosial yang suci seorang sufi hanya dapat diukur melalui praktik hubungan sosial,” tambah Imam Besar Islam Transitif ini.

Dosen Pascasarjana UIN SU ini menambahkan bahwa untuk mencapai batin yang bersih, seseorang dapat mengikuti thariqoh sebagai bentuk atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah sebagai bentuk pengabdian dan penyerahan diri.

“Amalan syariat dan hakikat merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan, sehingga berbagai perdebatan terkait konsep sufisme yang dianggap kontroversial dalam pertarungan kompetisi eksistensi tokoh cenderung memiliki kepentingan politik,” lanjut Datuk Pandya Wangsa ini.

Terkait dengan perdebatan mengenai konsep yang dipahami oleh para penggiat thariqoh, termasuk Majelis Pengkajian Tafsir dan Tasawuf atau MPTTI, yang beberapa pihak menganggap kajian ini menimbulkan kegelisahan karena adanya penafsiran tentang ayat dalam Surah Al-Ikhlas, tentunya persoalan ini dapat diselesaikan melalui dialog dengan mengedepankan adab dan musyawarah.

“Perbedaan penafsiran mengenai buku “Insan Kamil” ini berdasarkan tafsir isyari harus dipahami secara khusus agar tidak menimbulkan perdebatan yang panjang dan melemahkan persatuan umat Islam,” ujar seorang Pakar Sosiologi Hukum Islam.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *